Pengertian dan Perkembangan Pendidikan Multikultural di Indonesia
PENGERTIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan multikultural adalah
proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural (Musa
Asy’arie : 2004).
Multikultural berarti beraneka ragam
kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme
adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural
ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah sebuah
ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.
Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang
berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep
ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah
yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan
saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay
(1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan
bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya
masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat
(termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan
yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah
mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat
yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme
diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis
meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Mengingat pentingnya pemahaman
mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara
terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat
seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan.
Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu
kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang
dasar.
B. PERKEMBANGAN PEDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Di Indonesia, pendidikan
multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih
sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan
desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan
di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter
terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu
dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam
perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level
nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan
"monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik,
yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi
kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi
dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala
"provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan
"etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat
menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi
juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun
di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan
sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi
kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di
Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman
budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang
keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi
atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik
atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika
Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi
pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif
yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan
intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan
melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut
peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini
sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru
tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di
Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks
agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga
dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga
memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam
sejarah" di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan
multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan
reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam
seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi
untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas.
Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di
Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya
dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan
dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di
sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial,
toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model
tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model
yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat
mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi
sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultural
dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung
tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas
"merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang
ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan
apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami
diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari
budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural
lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang
toleran dan bebas toleransi.
15.47
|
Label:
Pendidikan
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar